![]() |
Gambar ilustrasi |
Namaku adalah Andre aku berasal dari salah satu desa yang terisolir didaerah pedalaman Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan negara tentangga, Malaysia. Papa dan mamaku berasal dari keluarga yang sederhana dan keseharian mereka bekerja sebagai petani. Ya, aku terlahir sebagai seorang anak petani.
Kami sangat bahagia dengan kehidupan kami yang sederhana walapun kami hanya makan berlaukkan sayur daun singkong saja kami merasa makanan itu sangatlah istimewa karena kami diajarkan oleh kedua orang tua yang selalu bersyukur setiap harinya.
Saat lulus SMP aku dibawa bibiku tinggal bersamanya dan melanjutkan sekolah di SMA karena jarak desa tempat tinggalku dengan sekolah sangatlah jauh sehingga kedua orangtuaku memutuskan untuk menitipkanku bersama bibi.
Keseharianku sepulang sekolah menjajakan kue dagangan buatan bibi. Awalnya aku sangat merasa malu dan minder menjajakan kue lantaran aku anak laki-laki yang beranjak remaja apalagi berstatus sebagai pelajar SMA. Tapi, papa pernah berpesan bahwa tidak boleh minder ataupun malu saat berjualan karena kita tidak mencuri, katanya, yang selalu terngiang diingatanku sehingga aku bertekad untuk menjadi anak yang ber-mental.
Pada suatu hari aku berjualan kue dipasar yang agak sedikit jauh dari rumah bibi, aku bertemu dengan anak tetangga didesaku yang melanjutkan sekolahnya dikota kecil didaerahku, namanya Robi.
Robi adalah teman sekelasku waktu masih di
SMP, dia teman yang baik dan tidak pelit. Tapi karena ia bersekolah dikota
membuat sikapnya agak sombong dan kekotaan padahal semenjak bersama-sama
didesa, kami sering ke kebun papa dan mama untuk mencabut singkong untuk
digoreng dan dimakan.
Entahlah, sikapnya begitu dingin bahkan
dia seolah tidak ingin mengenalku apalagi dia melihat aku menjajakan kue bahkan
dia berusaha menjauh karena dia tidak ingin aku mendekatinya.
Ada beberapa teman laki-laki bersamanya,
nampaknya mereka adalah segerombolan anak orang kaya, berpakaian necis dan
terlihat memborong banyak barang yang dibelanja.
“Robi,” kataku. Robi hanya melangkah memandangku seolah tidak mengenalku, tapi temannya yang disampingnya menoleh kearahku dan memberikan isyarat kepada Robi kalau aku memanggilnya, Robi berusaha melangkah agak cepat dan berkata kepada temannya tersebut, “Ayo, itu anak tetanggaku waktu dikampung, dia anak orang miskin dan dia sering menawarkanku kue yang dia jajakan”.
Aku tersentak seakan tidak percaya apa yang telah diucapkan oleh sahabatku ini, aku langsung menyadari seketika bahwa dia merasa malu memiliki teman sepertiku.
“Oh, iya aku hanya ingin menawarkan kue
siapa tau ingin beli,” kataku sambil menunduk malu berjalan berlawanan arah
dari mereka, aku mencari tempat yang agak sunyi, tak terasa air mataku menetes
selain merasa tak percaya akan ucapan sahabatku yang sejak SD hingga SMP
menjadi sahabatku yang kesehariannya aku tahu, tiba-tiba menjadi orang asing
yang aku kenal.
Aku menangis bukan karena aku miskin tapi
karena merasa terhina sebagai seorang sahabat. Jika orang yang tidak mengenalku
melontarkan kata-kata hinaan, masih dapat ku terima. Tapi ini, adalah sahabat
dekatku dikampung, kami berpisah baru saja 2 tahun karena harus menempuh
pendidikan masing-masing.
“Jika dia sahabatku, dia tidak akan
melukai perasaanku”, kataku masih tak percaya. Aku mengusap air mataku
menggunakan kerah bajuku yang mulai kedodoran karena tidak mampu membeli baju
yang baru untuk dipakai. Baju yang aku gunakan inipun baju bekas layak pakai sumbangan
dari seorang misionaris gereja didesaku.
Aku coba melangkah kembali masuk pasar
yang sedikit ramai dan berjualan disana, namun sial kakiku tersandung karung
sayur-sayuran salah satu penjual dipasar tersebut.
Jajanan yang aku jinjing diatas kepalaku
terjatuh dan bercampur lumpur tanah didalam pasar. Mataku membelalak dan mukaku
memerah karena malu dilihat banyak orang, selain itu aku merasa takut dimarahi
bibi lantaran membuatnya rugi karena kue yang aku jajakan semua terjatuh.
“Waduh nak, hati-hati”, kata seorang ibu
paruh baya yang berusaha menolongku berdiri dan mengumpulkan kue daganganku. “Sini,
ibu bantu kumpulkan kuenya, aduh kasihannya,” lanjutnya.
“Makasih bu, sudah membantuku, aku pamit
pulang dulu ya, kuenya juga tidak bisa dijual lagi,” kataku dengan wajah yang
lesu.
Tapi ibu itu bertanya aku berasal
darimana, aku menceritakan bahwa aku berasal dari desa Mekar yang terletak
kurang lebih 20 kilometer dari pasar. Dia tersentak dan berkata, “Wah, jauhnya,
jadi kamu berjualan dari desa Mekar ke pasar ini?” tanyanya.
“Tidak bu, aku tinggal bersama-sama dengan
bibiku tidak jauh darisini sekitar 4 kilometer saja. Kue ini milik bibiku, dia
pasti marah kepadaku karena aku sudah menjatuhkan kue ini dan belum sempat ada
yang terjual,” kataku sambil menutup kotak daganganku.
Ibu itu memandangku dengan penuh iba. “Begini
aja, ibu beli semua kue ini ya, biar kamu tidak dimarahi bibimu,” katanya.
Sentak aku menolak dan berkata, “Tidak bu, jangan ini kesalahanku, kue ini juga
sudah kotor”. Dia berusaha menenangkanku, “Tidak apa-apa nak, selain ibu membantumu,
ibu juga menginginkan kue itu dan nanti ibu bersihkan dan menggoreng ulang,”
kata ibu itu sambil berusaha memaksaku.
Aku tau ibu ini hanya merasa kasihan kepadaku karena selain kue jajananku yang kotor karena lumpur, pakaianku pun dipenuhi lumpur. Usahaku sia-sia untuk menolak niat baik ibu ini, akhirnya akupun menurutinya walaupun dengan berat hati.
Dalam perjalanan pulang, aku berpikir didalam hati dan bertekad untuk menjadi orang yang sukses kelak. Sesampainya dirumah, bibiku terkejut melihatku berlumur lumpur, ia berusaha meraih tanganku dan bertanya tentang keadaanku, aku berusaha menjelaskan apa yang terjadi kepadaku dan menyerahkan uang hasil dagangan tapi tidak menceritakan apa yang dilakukan oleh perempuan paruh baya yang telah menolongku waktu masih dipasar.
Aku mengambil handuk dan bergegas ke kamar
mandi. Saat membersihkan badan, kata-kata Robi masih terngiang jelas
ditelingaku. Kembali aku menangis dan juga masih belum percaya bahwa dia itu
adalah sahabatku.
Tok…tok..tok, “Andre, kamu baik-baik sajakan?” tanya bibiku didepan kamar mandi sambil mengetok.
Rupanya dia cemas karena aku terlalu lama didalam kamar mandi dan terlihat aneh baginya melihat tingkahku yang seperti terjadi seuatu.
“Kamu baik sajakan, bibi merasa aneh
dengan sikapmu hari ini, selain kamu pulang dengan lumpur, kamu juga terlihat
bersedih. Apakah kamu diganggu oleh orang?” tegas bibiku dengan hati-hati
sambil melihat wajahku yang masih terlihat sedih.
“Mengapa matamu merah,” lanjutnya. Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan semuanya ini terhadap bibiku, lagipula dari awal bibiku sudah banyak bertanya tentang apa yang aku alami.
Aku menceritakan semuanya kepada bibi
dengan mata berkaca-kaca, saat aku menoleh kearah bibiku, aku kaget karena
sejak aku cerita tentang hubungan persahabatanku dengan Robi hingga aku
terjatuh menjajakan kue dan ditolong oleh seorang ibu yang baik hati, rupanya
bibiku dengan seksama mendengar ceritaku dan ikut menangis setelah aku selesai
bercerita.
Bibi memelukku dia mencium pipiku dengan
kasih sayang, dia memberikan motivasi kepadaku dan menguatkan aku dengan
kata-kata bijaknya. “Kelak, kamu akan menjadi orang sukses, janganlah melupakan
jasa orang yang telah menolongmu, temanmu yang berlagak sombong terhadapmu,
janganlah kamu membencinya, melainkan kamu berdoa untuknya agar ia menjadi
pribadi yang tidak sombong lagi,” kata bibi menasehatiku sambil memegang kedua pundakku.
“Aku mengangguk dan mengucapkan
terimakasih kepada bibi lantaran tidak memarahiku karena kue itu terjatuh. “Bibi
tidak marah sama kamu, karena itukan kecelakaan, sekalipun orang yang
menolongmu tidak membeli kue tersebut bibi tidak akan marah, justru bibi merasa
bersalah mengapa ibu itu harus membeli kue yang sudah jatuh ditanah,” timpal
bibi. “Ya, sudahlah, kamu istirahat ya, kamu tidak jualan dulu beberap hari ini,
soalnya bibi dan paman besok ke kota untuk mengurus urusan paman.
“Baik bi,” jawabku sambil menuju kekamar
dan beristirahat karena waktu sudah menunjukan pukul 9 malam.
---Satu
Tahun Kemudian---