-->

Iklan Atas Milda's Family Blog

Novel Aku Adalah Dia (BAB 2, Melanjutkan Kuliah Dikota)
4/ 5 stars - "Novel Aku Adalah Dia (BAB 2, Melanjutkan Kuliah Dikota)"   Novel Aku Adalah Dia, oleh: Mikael Milang Bab 2

Novel Aku Adalah Dia (BAB 2, Melanjutkan Kuliah Dikota)

Mikael Milang

 

Novel Aku Adalah Dia, oleh: Mikael Milang

Bab 2

Melanjutkan Kuliah di Kota

 

Aku telah lulus dari Sekolah Menengah Atas dan saatnya untuk melanjutkan pendidikanku dijenjang yang lebih tinggi lagi yakni ke perguruan tinggi. Impianku adalah kuliah diperguruan tinggi negeri ternama di Samarinda. Aku lolos dalam seleksi Mahasiswa Baru, aku sangat senang sekali tapi bahagiaku seketika berubah menjadi kesedihan lantaran daftar ulang yang terbilang cukup mahal bagiku.

 

“Sepertinya kisahku hanya sampai disini,” kataku. Pikiran pesimis menghantamku dengan keras sehingga aku hanya pasrah bahwa aku akan menjadi seorang anak kampung yang hanya bermimpi untuk kuliah. Aku kembali kekost yang baru saja tiga hari aku tempati, kost inipun kost yang direfrensikan bibi dan paman untukku jadi aku tidak perlu repot-repot mencari kost saat aku tiba dikota.

 

Malampun larut, mataku belum juga terpejam, kuusap wajahku yang sejak tadi mengeluarkan butiran keringat kecil menandakan ruangan kost yang aku tempati sangat panas karena tidak ada kipas angin ataupun AC seperti kost-kost lainnya. Karena sejak masih kecil aku diajari papa dan mama untuk selalu bersyukur dalam keadaan apapun membuatku tidak banyak mengeluh.

 

Kring…kring…kring, bunyi handphone Nokia seri 8250 milikku berbunyi, ternyata bibi menelponku. “Halo, Andre, bagaimana kabarmu disana?” tanya bibi. Aku menjawab bibi dengan penuh semangat, “Aku baik saja bi, lagi dikamar sekarang, bibi dan paman apakabarnya?”, bibi menjawab dan mengatakan bahwa keadaan mereka baik-baik saja, hal itu membuatku lega dan mengucap syukur kepada Tuhan bahwa kedua orang tua yang mengasuh aku ketika masih di SMA ini dalam keadaan sehat.

 

Bibi bertanya tentang hasil test seleksi Mahasiswa Baru yang telah saya lalui beberapa hari ini, aku menjawab bibi dengan perasaan yang sangat tertekan. Sempat terdiam beberapa saat, aku mengatakan kepada bibi kalau aku sendiri lulus seleksi ini tapi aku tidak bisa melanjutkan kuliah karena biaya pendaftaran ulang yang sangat mahal sehingga aku harus mundur.

 

“Berapa biaya pendaftaran ulangnya, Andre?” tanya bibi. Biaya pendaftaran ulang sekitar lima juta rupiah bi, jawabku,  sementara uang saku yang aku miliki hanya satu juta rupiah saja. Mendengar hal itu bibi tertawa seolah lega dan berkata, “berarti Andre belum membaca surat bibi yang bibi sisip di travel bag-mu, coba deh kamu buka?” pinta bibi.

 

Seketika perasaan penasaran menyelimuti pikiranku, sambil memegang ponsel aku bergegas membuka travel bag yang kutaruh disudut ruangan. Bibi masih bertanya melalui telpon apakah aku telah menemukan surat yang dia sisipkan itu, Aku menjawab bahwa suratnya sudah aku lihat tapi masih berada didalam amplop. Bibi menyuruhku mematikan ponselku dan membuka suratnya terlebih dahulu dan membaca, aku menyetujui permintaan bibi dan mematikan ponsel tersebut.

 

Aku coba membuka amplop dengan penasaran aku membaca surat bibi dengan seksama: “Andre, bibi dan paman sebenarnya tidak bisa jauh darimu, walaupun kamu bukanlah anak kandung bibi dan paman, tapi kami merasa bahwa kamu adalah anak kami berdua. Sejak meninggalnya anak bibi yang pertama saat berusia 8 tahun, bibi dan paman sangat terpukul sehingga kami sempat  jatuh sakit. Bibi yang sudah tidak bisa lagi memiliki anak karena bibi memiliki suatu penyakit yang menyebabkan bibi tidak bisa lagi mengandung membuat bibi juga syok. Tapi sejak kehadiranmu ditengah bibi dan paman, kami sangat bahagia kami merasa bahwa ada sosok anak lelaki yang menggantikan anak kami yaitu sepupumu yang telah pulang ke pangkuan Tuhan,”

 

“Bibi dan paman menuliskan surat ini jauh sebelum kamu lulus dari SMA, bibi tidak pernah berniat untuk menyuruhmu untuk berjualan kue apalagi membuatmu seolah sebagai seorang anak yang hanya dititip oleh orangtua. Bibi dan paman berniat untuk membentukmu menjadi anak yang mandiri dan kuat, makanya bibi dan paman sepakat mengajarkan makna kehidupan kepadamu agar kamu kelak menjadi anak yang memiliki mental kuat,” tulis bibi dalam surat tersebut.

 

Air mataku dari tadi tak terasa menghangati pipiku dan tidak sadar beberapa tetesan air mataku jatuh mengenai surat yang cukup panjang tersebut, aku mengambil tisu dan kubersihkan surat yang basah karena air mataku supaya tintanya tidak pudar dan melanjutkan membaca lagi.

 

“Bibi mengumpulkan semua uang hasil jualan kuemu selama tiga tahun bersama bibi tak sepeserpun bibi ambil dari hasil keringatmu, kecuali modalnya bibi pakai untuk membuat kue lagi,” lanjut bibi disurat tersebut. Membaca ini aku makin tak kuasa membendung tangisanku, seperti seorang anak kecil aku menangis, aku tidak tahu mengapa aku merasa seperti akan kehilangan. Aku menaruh surat itu dan kudekap didadaku sambil aku mengangis dan terduduk disudut ruangan kamar kostku. Beberpa menit aku berusaha menenangkan diriku dan mengambil segelas air putih dan mencoba untuk melanjutkan membaca surat bibi.

 

“Andre, hasil jualan kuemu selama tiga tahun ini berjumlah 80 juta rupiah, setiap bulan hasil jualanmu bibi tabung, kamu begitu bekerja keras setiap hari menjajakan kue yang bibi buat, kamu tidak pernah meminta sepeserpun untuk kamu pakai kecuali bibi memberikan uang jajan kepadamu,” kata bibi.

 

Sebenarnya total tabunganmu, lanjut bibi berjumlah 90 juta, tapi bibi menyisihkan 10 juta bibi kirim untuk orangtuamu dikampung. Banggalah pada dirimu bahkan anak seusiamu bisa memberikan sesuatu untuk orangtuanya.

 

Saat membaca ini aku menjadi kaget dan berkata dalam hati, betapa hebatnya bibi dan pamanku ini. Aku tidak pernah berpikir mereka memperbudakku berjualan kue, justru aku berpikir bahwa aku harus membantu mereka karena mereka menafkahi dan membantu membiayai sekolahku hingga aku selesai di sekolah menengah atas.

 

“Dan tabungamu yang 80 juta itu ada bibi selipkan buku tabunganmu saat kamu masih dikampung, disana ada ATM dan PIN ATMnya,” kata bibi didalam surat itu.

 

Pesan bibi, tambahnya, janganlah boros, gunakan itu untuk keperluan kuliahmu jangan berpacaran terlebih dahulu karena itu bisa mengganggu konsentrasimu dalam kuliah. Bayarlah semua kebutuhan kuliahmu, dan kamar kost tempat kamu tinggal sudah bibi dan paman bayar selama 3 tahun supaya meringankan bebanmu saat kuliah.

 

Bibi berkata lagi, “Jangan meminta uang kepada orangtuamu karena mereka juga saat ini susah, saat masih dikampung orangtuamu pernah berkata bahwa mereka tidak sanggup membiayaimu sehingga mereka memutuskan untuk menitipmu bersama bibi dan paman”.

 

”Bibi dan paman bertekad untuk membantu orangtuamu karena kamipun berhutang budi terhadap mereka saat kami masih belum memiliki apa-apa,” lanjut bibi.

 

Pikiranku makin tidak karuan dan terbesit pertanyaan besar dalam pikiranku apa yang telah orangtuaku lakukan sehingga bibi dan paman berhutang budi kepada mereka sehingga mereka bersikap seperti ini terhadap saya.

 

Kembali aku membaca lagi surat bibi katanya, “Bibi tau, kamu pasti memiliki banyak pertanyaan tentang hal ini, tapi nanti suatu hari kelak kamu akan tau. Nah, sekarang yang perlu kamu lakukan adalah belajar sungguh-sungguh dan jangan mengecewakan kedua orangtuamu yang telah berjuang pula untukmu.”

 

“Setelah kamu membaca surat ini, perlu kamu ketahui bahwa bibi dan paman akan pindah ke Sabah, Malaysia. Karena perusahaan sawit tempat paman bekerja memindahkannya kesana,” lanjut bibi.

 

Hatiku tambah hancur membaca surat ini, mengapa mereka harus pindah. Aku raih ponselku dan ingin menelpon tapi aku urungkan niat itu karena aku harus membaca surat ini hingga selesai. Aku letakkan kembali ponselku dan kembali membaca.

 

Kalimat yang membuatku tambah hancur berkeping-keping perasaanku saat membaca surat bibi yang mengatakan bahwa dia mengidap sebuah penyakit yang dia tidak ingin mengatakannya. Itulah salah satu alasannya mengapa bibi dan paman juga nekad untuk pindah ke Sabah Malaysia.

 

Aku berusaha untuk menahan semua perasaanku itu dan aku mencoba menghubungi bibi. Saat aku menelpon, telpon bibi tidak bisa tersambung begitupun dengan paman. “Ya sudah, mungkin mereka saat ini sedang tidur,” kataku dalam hati. Aku berniat untuk menghubunginya nanti pagi.

 

Setelah selesai membaca surat itu aku kembali melipatnya dan menyimpannya kembali kedalam amplop. Aku membuka amplop berwarna cokelat lainnya disana aku dapatkan buku tabungan yang berlogo Bank Daerah dan ATM berwarna biru. Dalam buku tabungan itu terlihat lembaran demi lembaran terisi dengan kolom kredit yang dipenuhi setoran tabungan yang selama ini bibi setor ke bank tanpa sepengetahuanku.

 

Dulu semenjak dikampung, bibi pernah mengajakku pergi buka rekening tabungan baru dibank. Aku berpikir bahwa membuka rekening bank dan ATM pada saat itu agar aku bisa mendapatkan transferan beasiswa dari pemerintah daerah, ternyata buku tabungan itu terisi penuh oleh sang bibi penyayang yang selalu memperhatikan masa depanku. Aku juga tidak berharap mendapatkan transferan beasiswa dari pemerintah karena semenjak membuka rekening aku menitipkan semuanya kepada bibi dan melupakannya.

 

Sejenak aku masih terduduk dan mengawang disudut kamar, masih ada satu hal yang membuatku terlintas dipikiranku, kubuka tas ranselku dan mengambil kitab suci membacanya beberapa saat dan aku berlutut dan berdoa kepada Tuhan, mengucapkan syukur kepada-Nya karena telah memberikanku orangtua yang penyayang terlebih bibi dan paman yang begitu perhatian kepadaku. Akupun berdoa agar segala sakit penyakit bibi disembuhkan Tuhan. Selesai berdoa, aku merebahkan badan dan tertidur.

 

Keesokan harinya aku terbangun pagi-pagi sekitar pukul 5 pagi aku langsung berlutut berdoa seperti kebiasaanku setiap pagi, kemudian ke kamar mandi dan mandi. Sambil menunggu terang, aku merebus air panas dan membuat secangkir teh hangat untuk ku minum sambil membaca kitab suci.

 

Tak terasa waktu menunjukan pukul 7 pagi, aku menuju jalan raya untuk menunggu mobil angkot yang melintas. Hampir 10 menit menunggu, angkot berwarna hijau itu sudah menghampiriku dan akupun naik menuju ke kampus.

 

Setibanya dikampus, akupun langsung menuju mesin ATM yang berada dilingkungan kampus, tapi kali ini kebingungan menghampiriku. Seumur hidupku aku tidak pernah masuk ruang ATM apalagi bertransaksi disana,

 

“Wah, kacau, bagaimana caraku untuk transaksi ya, bagaimana cara menggunakan kartu ATM ini,” gumamku dalam hati.

 

Aku berdiri dan membaca poster ataupun pamflet yang ditempel di dinding kaca ATM siapa tau aku mendapat petunjuk menggunakan ATM ini. Kurang lebih 15 menit berdiri diluar ATM seorang gadis menghampiriku dan bertanya, “Maaf mas, mas-nya tidak masuk ke ruang ATM ya?” tanyanya. Akupun menjawab dengan perasaan sangat ragu dan sedikit malu, “Ya, mbaq, soalnya aku masih bingung cara menggunakan ATM ini dan belum pernah pakai ATM,” kataku lugu.

 

Gadis itu memandangku seakan curiga bahwa aku seorang yang kriminal atau penjahat yang berusaha mencuri ATM orang lain, untuk memecahkan ketegangan itu, aku langsung menunjukan identitasku, kartu ATM yang tertera namaku dan buku tabunganku. Gadis itupun menarik nafas lega, sembari dia berkata dengan nada mengejek dan tersenyum kepadaku,”Oh, hampir saja aku melaporkan mas ke pos satpam,” katanya mengejek.

 

Dia menawarkan diri membantuku untuk mengajari bagaimana caranya menggunakan ATM, mendengar hal itu aku merasa senang sekali dan mengucapkan terimakasih kepadanya.

 

Awalnya aku memberikan ATMku kepadanya, tapi dia menolak dan berkata, “Jangan! mas sendiri yang buat, aku hanya tuntun saja ya?”. Tahap demi tahap dia dengan sabar menuntunku, kali ini aku tidak merasa malu lagi karena gadis ini membantuku tanpa memandang bahwa diriku ini seorang anak kampung yang gaptek. Setelah melakukan transaksi uangpun aku ambil dari mesin ATM dan membuatku sangat kaget, bahwa aku memang gaptek dan merenung sejenak dan bergumam dalam hati bahwa aku memang sangat tertinggal dan jauh berbeda dengan teman-temanku yang sudah pernah tinggal dikota dan pastinya mereka lebih canggih dariku.

 

Kami keluar dari mesin ATM, ada lebih dari 5 orang mengantri diluar ruangan ATM dengan wajah kesal lantaran kami yang sejak tadi lama didalam ATM.

 

“Ah, masa bodoh,” kataku dalam hati. Aku merasa senang karena sudah tahu bagaimana cara menggunakan ATM. Aku beranikan diri untuk berkenalan dengan gadis yang bersedia membantuku itu, “Siapa namamu, kalau boleh saya tau?” tanyaku. “Namaku Rosalina, panggil saja Rosa,” jawabnya.

 

“Kalau aku Andre,” kataku. Sambil berjalan, aku bertanya banyak hal kepadanya mulai darimana asalnya hingga jurusan apa yang dia ambil di kampus itu. Rupanya kami satu jurusan yaitu Fakultas Ekonomi dan ternyata dia juga mahasiwa baru hanya saja dia anak orang kota berbeda denganku yang hanya seorang anak kampung, dan pastinya dia mengenal banyak tempat dikota dibandingkan aku.

 

Kamipun sama-sama mendaftarkan diri dan membayar biaya daftar ulang ke loket pendaftaran. Setelah mendafatar, aku memberanikan diri mengajaknya makan dikantin dekat kampus. Tapi, dia menolak dan berkata bahwa dirinya sudah dijemput dari tadi untuk pulang. “Maaf, Andre, aku tidak bisa menemanimu makan soalnya papaku sudah menjemputku diparkiran,” katanya.

 

Akupun mengangguk memahami dan menawarkan diri mengantarkannya ke tempat parkiran. Sesampainya diparkiran, aku sempat terperanjat karena papanya yang sejak tadi menunggunya ternyata orang kaya. Mobil mewah berwarna hitam legam dan menggkilap itu parkir dengan gagahnya menunggu Rosa.

 

Dengan perasaan ragu dan sedikit malu aku membungkukkan badan dan berjabat tangan dengan ayahnya Rosa. Rosa memperkenalkanku kepada ayahnya. “Pa, kenalkan ini teman baruku dikampus, kami satu jurusan,” kata Rosa.

 

Akupun mengulurkan tangan kepada ayah Rosa dan berkata, “Saya Andre Om.” Ayah Rosa dingin dan seolah tak ingin mengenaliku, karena aku telah mengulurkan tangan sehingga iapun terpaksa mengulurkan tangan dan berjabat tangan denganku. Perawakan ayahnya tinggi tegap dan sepertinya dia seorang pengusaha yang sukses. Ia pun berlalu sambil membuka pintu mobilnya dan meninggalkanku yang dari tadi terpaku memandang mobil itu pergi.

 

Setelah beberapa saat, aku tersadar bahwa ayah Rosa tidak menyebutkan namanya kepadaku. Aku tidak begitu memperdulikan hal itu, aku hanya peduli dengan masa depanku dan aku harus sukses.


Bersambung...

Novel by: MIKAEL MILANG

WA: 08119367888

Yang Baru Milda's Family Blog

Lihat semua